About me

Foto Saya
Firda Mustikawati
Mahasiswa Pendidikan bahasa dan sastra indonesia di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta
Lihat profil lengkapku
Feeds RSS
Feeds RSS

Minggu, 26 Desember 2010

SOSIOKULTURAL NOVEL DADAISME KARYA DEWI SARTIKA SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

  1. PENDAHULUAN

Novel sebagai hasil rekaan kretif pengarang merupakan bagian kehidupan masyarakat (Sumardjo, 1982) sebagai hasil rekaan kretif pengarang, novel menampilkan gambaran kehidupan. Pengertian kehidupan ini mencakup persoalan kemasyarakatan, yaitu: hubungan antara manusia dengan manusia, hubungan antara manusia dengan alam lingkungan, hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dengan demikian novel lahir dari jaringan kemasyarakatan.

Kekuasaan politik dan lembaga agama kini goyah digantikan dominasi kekuasaan kapitalisme global yang menemukan bentuknya dalam media dan hiburan. Sebagian sisi yang lain mengalihkan pandangan pada masa lalu, memungut kembali simbol-simbol kultural, mendekonstruksi, dan menciptakan pemahaman kembali. Pengaruh yang besar dari perubahan paradigma dunia itu terlihat dengan sangat jelas dalam salah satu karya sastra yang muncul dalam kesusastraan mutakhir adalah novel Dadaisme karya Dewi Sartika yang memenangkan hadiah pertama pada Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003.

Maman S. Mahayana menganggap bahwa dalam perjalanan novel Indonesia, inilah salah satu novel yang “melampaui” karya-karya sebelumnya. Dadaisme memperlihatkan bahwa penulis novel memerlukan tidak hanya kecerdasan mengungkapkan imajinasi, tetapi juga keluasan wawasan dan kecerdikan mengolah teknik bercerita. Budi Darma melihat, “Kekacauan tokoh dan peristiwa-perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini, masa di mana masing-masing orang sibuk menghadapi berbagai masalah tanpa sempat mendalami masing-masing masalah”. Kehidupan manusia sekarang dengan demikian serba fragmentaris, serba sepotong-sepotong. Di sinilah justru kekuatan gaya penceritaan novel ini. Novel yang membentangkan serpihan-serpihan kritik atas kultur etnik, perselingkuhan, halusinasi, dunia surealis, dan peristiwa tragis ini menurut dewan juri pantas tampil sebagai pemenang (Dadaisme, 2004).

Sebagai pemenang lomba, novel Dadaisme ini dapat dianggap sebagai karya besar yang berhak diberi perhatian, dan Strukturalisme-Genetik Goldmann dipandang sebagai teori yang tepat untuk memahaminya. Menurut Goldmann (Damono, 1978: 45) karya yang besar dan sahih adalah karya yang mempunyai struktur yang terpadu, mempunyai kepaduan internal sebagai akibat dari ketepatan pandangan dunia yang ditangkap dan diekspresikan pengarangnya.

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI SALAH SATU METODE PENGKAJIAN SASTRA

Dalam wacana studi sastra, sosiologi sastra sering kali didefinisikan sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) (Damono, 1979: 1). Sosiologi sastra ini berangkat dari teorimimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan (Wiyatmi, 2008: 20). Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses social. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono, 1979).

Wellek dan Warren membagi sosiologi sastra menjadi tiga tipe, yaitu sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status dan ideologi sosial yang menyangkut diri pengarang, sosiologi karya sastra yang mengkaji karya sastra itu sendiri,  sosiologi pembaca yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca.

Sementara itu, Junus (1986) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial, mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra penulis tertentu dan apa sebabnya, mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra , mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra, mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra, strukturalisme genetic yang dikembangkan oleh Lucia Goldmann.

STRUKTURALISME GENETIK

Keberadaan sebuah novel yang lahir di tengah-tengah masyarakat yang berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu menjadikan novel tersebut diletakkan sebagai dokumen sosio budaya. Hal ini mengandung implikasi bahwa sastra sebagai lembaga sosil menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.

Strukturalisme genetik menganggap karya sastra sebagai homologi atau struktur karya sastra, struktur unsur kultur lainnya yang berkaitan dengan mental atau struktur sikap suatu kelas sosial tertentu yang dimiliki juga oleh pengarang (Damono, 1979: 45) dan penyesuaian struktur sosial. Penyesuaian struktur novel dengan struktur sosial itu menurut Faruk (1981: 85) dikarenakan struktur internal novel yang dikembangkan oleh Goldmann dibedakan menjadi tiga ciri utama, yaitu: pertama novel yang hero problematik, yang menunjukkan adanya perjuangan tokoh di dalam mempertahankan nilai-nilai otentik di dalam dunianya yang terdegradasi. Nilai-nilai otentik di sini lebih bersifat merujuk pada nilai yang kebenarannya diakui dan diperjuangkan oleh subjek transindividual atau kelompok social tempat pengarang tersebut hidup. Sedangkan nilai-nilai yang berlaku di dalam kelompok tersebut semakin kabur, semakin tak jelas dan hendak digantikan dengan nilai-nilai yang baru.

Penyebab utama lahirnya sebuah novel adalah pencipta, yaitu si pengarang. Oleh karena itu, penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang sangat membantu menganalisis sebuah novel. Unsur biografi dipakai untuk mencari informasi sekitar kepengarangan yang berkaitan dengan pandangan dunia pengarang. Dengan informasi tersebut memudahkan untuk interpretasi novel.

Dalam kehidupan sehari-hari sastrawan berinteraksi sosial dan budaya dengan lingkungannya. Selama sastrawan itu merasa bagian dari masyarakat tertentu, selama itu juga ia terikat oleh aturan budaya tertentu pula.

Kebudayaan yang ada dalam novel antara kondisi sosial dan kondisi budaya dalam suatu masyarakat tidak jauh berbeda. Keduanya saling terikat dan saling mempengaruhi. Kondisi kebudayaan itu ditentukan oleh kehidupan social, begitu juga dengan adanya perilaku sosial karena manusia itu berbudaya.

SINOPSIS NOVEL DADAISME

Di dalam cerita Dadaisme terpenggal menjadi beberapa episode. Bila dibaca secara berurutan tampak tidak saling berhubungan antara episode pertama dengan episode kedua dan episode selanjutnya.

Novel ini menceritakan tentang seorang gadis kecil yang tinggal di sebuah kota yang meriah dan menyembunyikan kesuraman yang tidak dapat melukis langit dengan warna biru. Seorang gadis yang selalu diam dan hanya berbicara pada Michail yang hitam, malaikat kecil bersayap sebelah yang selalu muncul menemaninya. Ada gambaran yang kontras antara metropolis yang ramai dan meriah dengan keredupan kehidupan Nedena, anak perempuan sepuluh tahunan yang dianggap gila oleh bibi yang mengasuhnya, dan mendapat penanganan ahli jiwa, Aleda sebagai teks konkritnya.

Nedena dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Yusna. Sosok Nedena sendiri dapat dilihat sebagai transformasi diri Yusna yang terpaksa merantau, terputus hubungan dengan keluarga yang tidak mau menerimanya lagi karena pelanggaran moral yang juga berarti pelanggaran adat dan agama. Bagi Yusna, Nedena adalah bentuk konkrit dari dosa yang sudah dilakukan sehingga muncul kemenduaan perasaan terhadap anaknya itu, rasa kasihan dan benci sekaligus. Penundaan terhadap keinginan Nedena untuk memiliki mainan berwarna biru adalah efek dari perasaan demikian yang membuat Nedena akhirnya bermain dengan warna biru api.

Melalui novelnya yang beerjudul Dadaisme ini, Dewi Sartika memunculkan pandangan dunia tragik, pengalaman manusia postmodern yang kehilangan pegangan dan mencari pegangan dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis sebuah wilayah rantau. Dewi menganggap budaya Minangkabau yang dilandasi prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni. Tetapi dalam novelnya yang berjudul Dadaisme ini, Dewi menceritakan tentang prinsip kemenduaan yang tidak harmoni.          KODE BUDAYA PADA DADAISMENYA DEWI

“Sebut saja kota ini sebagai Metropolis---dan ada banyak alasan kenapa tidak pernah bisa disebutkan namanya---sebuah kota yang bila disamakan layaknya kota-kota di belahan bumi, di manapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan layang membelah langit, mulusnya aspal yang berkilat disiram cahaya matahari.”(Dadaisme, 2004: 1).

           

Kutipan di atas merupakan alinea yang mengawali cerita. Metropolis yang tidak perlu dirujuk pada suatu ruang nyata, referensi yang jelas. Bila dilihat dari kode budayanya, “metropolis” mengindikasikan wilayah rantau, nama yang tidak perlu merujuk ke suatu wilayah konkrit, tempat segala kegamangan dan ketidakpastian, harapan dan sekaligus kebebasan dapat diperoleh. Nedena berada di wilayah rantau. Tinggal sendiri di wilayah rantau tersebut karena dia telah membunuh ibunya.

TOKOH NEDENA

Sosok Nedena sendiri dapat dilihat sebagai transformasi diri Yusna yang terpaksa merantau, terputus hubungan dengan keluarga yang tidak mau menerimanya lagi karena pelanggaran moral yang juga berarti pelanggaran adat dan agama. Bagi Yusna, Nedena adalah bentuk konkrit dari dosa yang sudah dilakukan sehingga muncul kemenduaan perasaan terhadap anaknya itu, rasa kasihan dan benci sekaligus. Penundaan terhadap keinginan Nedena untuk memiliki mainan berwarna biru adalah efek dari perasaan demikian yang membuat Nedena akhirnya bermain dengan warna biru api.

Sosok Mama bagi Nedena bukan tempat berlindung, dia takut melakukan apa yang dia sukai di depan Mama, kalau-kalau Mama marah. Rasa berdosa yang dirasakan Yusna sama seperti yang dialami Nedena. Yang membedakannya hanya bila Yusna memiliki Nedena secara konkrit, sedangkan Nedena menghadirkan tokoh imajiner, sesosok malaikat yang kontras dengan gambaran umum, berwarna hitam dan hanya memiliki sebelah sayap, wujud dari dirinya sendiri yang tidak lagi dapat dipandangnya suci.

“Malaikat itu sebenarnya baik, dia hanya ingin membunuh iblis tersebut, tapi ia lupa bahwa malaikat tidak boleh membunuh, Darah iblis itu kotor dan tak boleh menyentuh kemurnian, dan malaikat itu adalah makhluk murni yang tak boleh terkotori oleh darah iblis.”(Dadaisme, 2004: 25). 

Rasa ketidaksempurnaan diri dan rasa bersalah terlihat pada kutipan di bawah ini:

“Apakah dia tidak bisa melihat surga?”

Michail menggeleng dan lagi-lagi mata itu berubah menjadi ungu.

“Michail, aku juga mungkin tidak bisa melihat surga

“Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Surga tempat manusia-manusia yang baik kan? Surga hanya untuk tempat anak-anak yang manis dan selalu menurut perintah orangtuanya, surga juga tempat anak manis yang mau belajar dan jadi anak baik.”(Dadaisme, 2004: 25-26).

 

Nedena merasa dirinya bukan anak baik, ada kesalahan yang dilakukan entah apa, yang tidak mampu dihilangkannya, yang diatasinya dengan kelupaan.  Hal ini terjadi secara dramatis dan akut setelah rasa kecewa yang makin lama makin memuncak, terdapat halusinasi dan ilusi yang diciptakan oleh Nedena.

Bentuk lain dari psikopatologi itu adalah schizoprenia. Yang gejalanya dapat dikenali melalui tingkah laku yang aneh, emosi yang kabur, dan ketidaksanggupan mengalami emosi yang sebenarnya, tidak menunjukkan emosi yang sesuai dengan rangsangan yang menimbulkannya. Menarik diri dan mimpi adalah reaksinya terhadap apa yang seharusnya menimbulkan rasa gembira takut atau marah.

Nedena juga mengalami pembisuan dan tidak dapat membedakan yang konkrit dengan yang abstrak, hidup dalam fantasi, mempergunakan banyak lambang-lambang. Lukisan Nedena yang tidak biasa, dengan warna yang tidak meniru apa yang sudah disajikan alam dan tertangkap mata manusia pada umumnya yang dipahami sebagai warna yang sudah ditentukan Tuhan. Dia melihat tidak sebagaimana ketentuan Tuhan.

LATAR 

Latar semua tokoh adalah metropolis, sebuah perantauan. Orang yang kesepian di tengah hingar-bingar kehidupan kota, tidak di tempat seharusnya di mana dia ada. Jing atau mungkin juga Bim yang lahir dari hubungan yang salah dalam pandangan masyarakat dan Tuhan terpisah dari lahir dengan ibunya, Aleda. Jing yang hidup dalam sebuah biara tidak dapat membunuh ibu dari hatinya, dia begitu ingin agar ibunya tahu bahwa dia sangat menderita agar dengan itu ibunya juga menjadi menderita. Dia mencari Aleda untuk membunuhnya, mungkin secara fisik mungkin juga tidak, yang terpenting baginya adalah menghapus kerinduan sekaligus kebencian pada ibunya.

Bim memilih penyelesaian lain, dengan menjadi seorang yang punya tingkat kegeniusan melebihi orang biasa, tetapi tanpa hati nurani, amoral, dan dingin. Ia menjadikan penderitaan orang sebagai hiburan. Ia meledakkan sebuah pusat berbelanjaan hanya karena ingin melihat api unggun besar dan jeritan dan semburat darah untuk membangkitkan semangatnya. Kawannya Jo ingin menghentikan, dengan permainan rolet rusia, membunuh atau dibunuh. Jo yang sudah mengenal liku-liku hutan tempat perjanjian merasa yakin dia dapat mengalahkan, tetapi Bim biasa hidup di hutan lain yang lebih ganas, dan Bim menang. Peledakan itu tidak pernah terungkap.

Aleda dan Magnos lahir dari sebuah tradisi Kristiani, melakukan perantauan bersama karena cinta, keluar dari ketentuan agama dan disebut sebagai pendosa oleh pihak gereja. Keduanya terusir dari kultur. Dalam perantauannya, Magnos menemukan Tuhannya, yang katanya bersembunyi dalam otak manusia (Hidden God), Tuhan bagi manusia modern. Sementara itu, Aleda memutuskan menikah dengan Asril, memeluk Islam dan masuk dalam wilayah budaya yang dibawa suaminya, Tuhan itu ada katanya, seperti yang dipercayai ketentuan dalam agama barunya. Dia dengan rela mencarikan seorang istri untuk melahirkan anak-anak suaminya, memecahkan masalah rahimnya yang kering. Berbagi dengan perempuan lain yang diperbolehkan dalam adat dan agama suaminya. Ia berusaha membangun keluarga, sebuah rumah bagi jiwanya, meskipun tidak semua bisa berjalan baik.

Issabella memilih dari kemenduaannya untuk berpihak kepada kemauan kolektif dengan sadar. Ia memilih subjektifitas dan kehendak pribadi. Dengan kepasrahan terhadap nasib yang sudah ditentukannya sendiri. Rasa bersalah karena mencintai orang selain suaminya menimbulkan kegelisahan bagi Issabella, tetapi dia berkukuh menghormati lembaga perkawinan, memilih mendapatkan perlindungan rumah ketimbang melanjutkan perantauannya.

PANDANGAN DUNIA PENGARANG

Berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau, Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar masa kecil pengarang. Dewi Sartika adalah pengarang yang berdarah Minang, tetapi lahir di Cilegon dan selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Pola pendidikan dalam keluarga Minang yang matrilineal dan komunal biasanya tidak pupus setelah berada di wilayah rantau. Mereka bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik. Manusia Minangkabau juga mendua dalam eksistensinya sebagai anggota komunitas (kaum). Ia bertindak tidak hanya atas nama diri sendiri sebagai subjek, tetapi menjadi wakil dari kaumnya. Kesalahan yang dilakukan satu individu bukan hanya menjadi beban pribadi, tetapi berisiko kepada komunitasnya. Oleh karena itu, manusia Minangkabau akan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, usaha yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kapasitas dirinya. Bila terjadi perbenturan penyelesaian yang dipilih adalah lari, pergi merantau.

Seperti terlihat pada novel Dadaismenya Dewi, Perkawinan Rendi dengan Issabella yang dimulai dengan perasaan dendam dan muak ternyata akhirnya membuat Rendi cukup bahagia, bisa mencintai istri yang hanya ditemuinya di pelaminan.

“Perempuan yang kukenal sebelumnya tak satu pun yang kucintai,” kata Rendi.



Hal ini dapat dilihat sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat. Dualitas dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal dan aneka warna persilangan budaya yang terdapat dalam novelnya yang berjudul Dadaisme.

DADAISME DAN SOSIOKULTUR ZAMAN 

Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota lain memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau walaupun tidak berpindah tempat. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.

Pengaruh budaya global menurut hipotesis Goldmann melahirkan kebudayaan yang termediasi atau terdegradasi. Hubungan yang pada awalnya dilandasi nilai guna berubah menjadi nilai tukar.Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia.

Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah       Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.

Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya di satu sisi dapat dilihat sebagai bertahannya nilai otentik dalam dirinya. Sutan Bahari melihat nilai ideal dalam relasi antarorang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah, di tengah menggejalanya peradaban baru bebas nilai, yang berusaha dihindarkan dari pilihan hidup Rendi, generasi penerus Sutan Bahari.

Rendi yang produk metropolitan, dikembalikan ke dalam lingkaran akar tradisinya dengan menikahkannya dengan Yusna. Akan tetapi, Yusna ternyata sudah menjadi gambaran kebudayaan yang terdegradasi. Issabella menggantikan posisi Yusna, menerima Rendi sebagai suaminya. Hal ini menggambarkan terjadinya mediasi dalam diri Issabela yang murni tradisional dengan berpisah dari Asril yang juga tradisional, dan menerima Rendi. Mediasi terjadi dalam diri Issabella dan Rendi.

KESIMPULAN

Dadaisme karya Dewi Sartika, memunculkan pandangan dunia tragik, pengalaman manusia postmodern yang kehilangan pegangan dan mencari pegangan dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis sebuah wilayah rantau. Dewi menganggap budaya Minangkabau yang dilandasi prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni. Tetapi dalam novelnya yang berjudul Dadaisme ini, Dewi menceritakan tentang prinsip kemenduaan yang tidak harmoni.       

Dualitas dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal dan aneka warna persilangan budaya terdapat dalam novelnya yang berjudul Dadaisme.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Faruk, H. T. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistomologi Sastra. Yogyakarta: Lukman Offset.

Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahar

Sumardjo, Jakob. 1980. Novel Indonsia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya. 

Nasroen. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: CV Pasaman.

Wiyatmi. 2008. Sosiologi Sastra Teori dan Kajian Terhadap Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

 

0 komentar:

Posting Komentar